Jumat, 20 November 2015

Gunung Sumbing Malam Itu



Kali ini saya ingin menceritakan pengalaman yang akan selalu saya ingat dalam hidup. Tulisan ini merupakan catatan perjalanan pendakian gunung sumbing 3371 mdpl. Setiap kali mengingat pendakian ini, saya sadar hidup dan mati itu hanya dipisahkan oleh selaput yang sangat tipis. Oke langsung saja begini ceritanya.

Sekitar 3 minggu yang lalu saya melakukan pendakian di gunung sumbing yang terletak di daerah wonosobo, Jawa Tengah. Pendakian kali ini hanya beranggotakan 3 orang. Saya sendiri, 1 teman cowok dan 1 teman cewek, dan tidak satupun dari kami yang pernah mendaki ke gunung sumbing. Jadi ini merupakan pengalaman pertama kami mendaki gunung sumbing.

Kami berangkat dari jogja hari jumat, 30 oktober 2015. Sekitar pukul 4 sore kami berangkat mengendarai motor. Sekitar jam 8 malam kami sampai di pendakian gunung sumbing. Kami pun bersiap-siap untuk memulai pendakian, kami mengecek segala perlengkapan yang kami bawa. Setelah semua beres, kami pun berangkat. Dari basecamp ke pos 1 kami menggunakan jasa ojek, karena memang pendakian kali ini kami sedang dikejar waktu karena harus sudah berada di jogja minggu paginya. Dengan motor ojek yang sudah di modifikasi untuk kondisi jalan pegunungan yang ekstrim, Kami pun menembus dinginnya kabut dan pekatnya malam. Ternyata perjalanan dengan ojek pun terasa cukup lama, sekitar 15 menit namun cukup membuat rahang ini bergetar.

Setelah sampai di pos 1, kami langsung memulai pendakian, di awal perjalanan sudah cukup menguji mental kami. Bagaimana tidak, tidak ada bonus sama sekali. Hanya beberapa meter mendatar lalu selebihnya berupa tanjakan. Setelah 2 jam berjalan, kami pun sampai di pos 2. Disini terdapat 2 tenda para pendaki lain yang sedang bermalam. Setelah sejenak beristirahat, kami pun melanjutkan pendakian, kali ini benar-benar tidak ada ampun, di daerah yang bernama engkol-engkolan sekitar 30 menit dari pos 2 terdapat medan terjal dengan kemiringan sekitar 60 derajat. Ditambah kondisi tanah yang licin dan berdebu, nafas kami tersenggal-senggal ditempat ini. Sungguh benar-benar menguji mental dan fisik. Setelah berjalan sekitar 1,5 jam kami pun sampai di pos 3, seduplak roto. Disini sebenarnya tempat yang paling nyaman untuk camp. Namun, lokasinya terlalu jauh dengan puncak. 

Waktu menunjukkan pukul 23.00. Akhirnya setelah menimbang-nimbang waktu dan kondisi fisik, kami memutuskan untuk lanjut hingga ke watu kotak. Watu kotak adalah tempat camp yang disarankan oleh penjaga basecamp pendakian gunung sumbing karena lokasinya yang dekat dengan puncak dan terhalang tebing sehingga aman dari angin dan badai. Perjalanan dari pos 3 ke watu kotak ini memang tidak terlalu terjal, namun di daerah pesar setan, sekitar 20 menit dari pos 3 kami lagi-lagi diuji. Angin disini sangat kencang, karena memang lokasinya yang berupa hamparan padang rumput yang sangat luas dan tak terhalang apapun. Sangat berbahaya untuk camp walaupun tanahnya datar. Tapi kebanyakan pendaki yang kami temui memilih tempat ini karena lokasinya yang luas, padahal sangat sulit untuk mendirikan tenda di konsisi angin kencang seperti ini, bisa-bisa terbang tuh tenda.
Perjalanan kami masih belum selesai, malam pun semakin sunyi, angin yang menusuk tulang pun tak kunjung reda, percakapan diantara kami bertiga juga semakin jarang. Masing-masing sudah kelelahan, terlihat dari wajah mereka yang tak lagi menampilkan senyuman. Dan setelah 2 jam perjalanan yang sangat melelahkan kami pun sampai di watu kotak. Disini tidak ada tenda pendaki lain yang terlihat, jadi hanya ada kami bertiga di tempat ini. Setelah berkeliling dan melakukan orientasi medan, kami memutuskan untuk mendirikan tenda di sisi timur tebing. Masih terlihat bekas tali dan parit tenda pendaki sebelumnya. Memang benar, lokasinya cukup nyaman dan tenang, pantas bapak penjaga basecamp merekomendasikan tempat camp ini. Kami pun segera mendirikan tenda. 15 menit kemudian tenda sudah berdiri dengan gagahnya.

Saat itu waktu menunjukkan pukul 01.30 dini hari. Salah seorang teman ada yang sholat, dan satunya lagi menyiapkan alat dan bahan di luar tenda. Dan hanya saya yang ada di dalam tenda sedang mengatur dan merapikan barang-barang yang telah di bongkar. Nah disinilah kejadian yang hampir merenggut nyawa saya itu terjadi. Tiba-tiba terdengar suara angin berhembus cukup kencang, dan pada saat itu juga terdengar suara salah seorang temanku berteriak, tak sempat mendengar apa yang diteriakkan temanku, tiba-tiba tenda seperti kejatuhan benda yang sangat besar. Nginngg.. suara berdenging di telingaku, membuat saya tuli dan terdiam sesaat. Rasanya kepala dan punggungku terbentur sesuatu. Saya mendengar teriakan suara salah seorang teman yang menanyakan keadaanku yang sedang di dalam tenda, saya pun menjawab dan memastikan bahwa saya tak apa-apa sambil merangkak keluar tenda. Dan seketika itu saya terkejut setengah mati, sebongkah batu yang besarnya sekitar 2 kali tas carrier telah menghantam tenda kami. Mematahakan 3 frame tenda, dan merobekkan beberapa bagian tenda.
 
batu sudah dipindahkan dari posisi awal.

Saya nyaris mati. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Tak bisa kubayangkan. Andai saya mundur 10 centimeter saja dari posisi semula, batu besar yang mendorong punggungku hingga berbekas itu pastilah sudah memecahkan tengkorakku. Apalagi jika kami bertiga sudah masuk dan tidur di dalam tenda. sungguh tidak dapat terbayangkan. Saya sangat bersyukur karena masih diberi keselamatan. Sesaat setelah kejadian itu kami semua bungkam, kami semua merasa kami telah ditegur. Merasa diingatkan kembali bahwa kami hanyalah manusia. Kami bagaikan butiran debu ditempat ini, kami semua tak berdaya jika dibandingkan dengan kuasaNya.

Udara semakin menusuk tulang, perut yang kosong juga membuat apa yang kita lakukan menjadi semakin lambat. Lalu kami menyantap makanan seadanya, selera kami menurun akibat insiden yang baru saja terjadi, namun kami harus makan agar tidak kedinginan. Karena ada 3 frame yang patah, tenda kami pun tak lagi bisa berdiri. Akhirnya kami mengakali tidur dengan menggunakan cover tenda untuk menyelimuti tubuh kami. Untunglah ada sleeping bag yang membuat tubuh kami hangat. Waktu menunjukkan pukul 3 dini hari. Kami memutuskan untuk tidur, memberikan kesempatan untuk mata dan tubuh yang sudah lelah ini untuk beristirahat. 

Pagi itu, matahari muncul menyapa segala bentuk kehidupan, menghapus segala pekat malam mengerikan yang telah kami lalui. Cukup membuat kami sejenak melupakan insiden malam itu. Setelah menyantap sarapan,  kami pun packing dan melanjutkan pendakian. Hanya tinggal 1 kilo lagi menuju puncak. Kondisi jalan dari watu kotak ke puncak ini adalah yang terekstrim, namun view sindoro yang selalu terlihat di sepanjang jalur pendakian mampu menghapus rasa lelah kami. Setelah sekitar 2 jam 30 menit, Akhirnya kami semua menginjakkan kaki di puncak sumbing 3371 mdpl.
 

Pada akhirnya, pengalaman hebat ini mengajarkanku bahwa sebagai seorang manusia biasa, kita semua tidak akan bisa lari dari kematian. Maka berdoalah, mintalah keselamatan sebelum memulai segala kegiatan alam. Jangan sombong, jangan angkuh, dan jangan bersikap seenaknya. Alam ada bukan untuk kita taklukkan, alam ada hanya sebagai media bagi kita untuk lebih mendekatkan diri pada sang pencipta. Semoga tulisan kali ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Salam Lestari !


Jumat, 13 November 2015

Tulisan Hujan

Siang ini udara terasa lebih sejuk dari biasanya, dijalanan tidak ada lagi bayang bayang terlihat. Semuanya serasa meredup. Semua warna seakan memudar, memucat dan membuat segala sesuatu tak nyaman dipandang. Pada saat ini aku dikamar duduk mematung menanti turunnya rintik rintik kehidupan itu. Mengharapkan gumpalan putih yang melayang itu jatuh, agar sesegera mungkin menyapu debu dan polusi yang sudah menumpuk di jalanan. Sungguh kondisi kota jogja hari ini benar-benar mengharapkan hujan. Panas, sumpek, kotor, dan gersang. Benar-benar merindukan hujan.

Waktu menunjukkan telah masuk tengah hari, kupandang keatas dari balkon kos, awan mulai menghitam dan udara kuhirup semakin melembab. Hembus angin disertai rontoknya daun dari dahannya semakin menambah suasana abu itu. Tiba-tiba setetes air jatuh mengenai alisku. Tersentak oleh kedinginan kecil itu. Aku terdiam, sembari melihat kebawah. Di lantai dan dinding sudah terbentuk pola tetasan air yang seragam. Ternyata yang dirindukan itu sudah datang, rintik hujan pertama yang langsung dirasakan oleh kulitku. Sejuk, mereka membasahi tanah, ilalalang, dan  rerumputan membuat mereka mengularkan wangi khas petrichor yang selalu dapat mengulang tentang memori kebersamaan itu.

Lega rasanya, kubiarkan wajahku basah. Kubiarkan segala inderaku merasakan hadirnya hujan. Tak lama kemudian, hujan semakin menjadi-jadi dan angin berhembus cukup kencang, membuat lintasan jatuh air membentuk lintasan parabolik. Balkon kamarku pun basah. Aku pun kembali mematung di kamar, melamun, menikmati diamku diantara dunia yang bergejolak di luar sana. Sembari memutar radio, lantunan musik di radio beradu dengan suara gemercik air. Aku pun menemukan irama dalam kebisingan, aku terhanyut dan seketika itu aku berbaring, memejamkan mata. Lalu terlelap dalam romantisme hujan.

Aku pun bertanya dalam mimpiku, seribut dan gemuruhnya hujan menghantam atap rumah, kenapa ia selalu menenangkan? Mereka sama sekali tidak membuat tidurku terganggu, bahkan semakin melelapkan? pertanyaan itu terus bertanya di dalam hanyutan alam mimpi. Semakin deras, semakin membuat diriku terlelap dan tak lagi sadarkan diri, terjebak dalam ketenangan dan terjebak dalam nostalgia turunnya hujan.

Selasa, 03 November 2015

Rasakan Pelukan Alam


Berkegiatan di alam bebas, seperti mendaki gunung, susur hutan, susur pantai, susur goa dan lain-lain merupakan kegiatan yang sangat diminati oleh kalangan pemuda akhir-akhir ini. Saya pernah memiliki pengalaman dengan teman yang sangat suka sekali berfoto ketika dia berada di alam. Sampai ada puluhan bahkan ratusan foto selfie di satu spot dan anehnya lagi posenya pun gitu gitu aja. Yang lihat aja capek, apalagi yang berfoto. Yang lebih parah, saya juga pernah memiliki pengalaman dengan teman yang ketika berkegiatan di alam malah asik sendiri dengan game di gadgetnya. Saya tidak habis pikir. Apakah se membosankan itukah alam yang indah ini? Sungguh sangat disayangkan menghabiskan waktu yang sangat terbatas hanya untuk kegiatan berfoto dan bermain gadget sehingga mengabaikan hal lain yang bisa kalian nikmati di alam. Memang tidak ada yang salah, setiap orang berhak melakukan apa saja yang mereka sukai. namun bagi saya saat ini tak sedikit yang lupa akan esensi menikmati alam. 

Keindahan dan kemegahan alam tidak bisa dinikmati hanya dari sebuah foto. Akan selalu ada bagian yang hilang dari sebuah foto karena sejatinya foto yang diambil hanyalah bagian kecil yang tak mampu merepresentasikan sesuatu yang dirasakan oleh ke lima panca indera kita. Foto hanyalah gambaran visual yang hanya mampu dinikmati oleh mata. Masih ada 4 indra yang lain yang tidak bisa kita nikmati dengan hanya menikmati foto. masih ada lidah untuk mengecap, masih ada hidung untuk menikmati aroma, masih ada telinga yang mendengar, dan masih ada kulit yang dapat merasakan dingin, panas, dan sentuhan-sentuhan. Coba saja jika saya tanya apa kalian menikmati basah dan dinginnya embun yang menusuk kulit? Apakah kalian menikmati lambaian ilalang yang diterpa angin itu? Apa kalian menikmati kicauan burung dan jangkrik yang bersaut sautan? Apa kalian menikmati aroma kopi panas yang diseduh ditengah dinginnya kabut? Apa kalian menikmati lembutnya cahaya matahari yang membakar kulit? Saya yakin pasti tak sedikit yang mengabaikan hal-hal kecil itu. 

Sesungguhnya hal yang paling membuat rindu adalah itu semua, sebuah kekuatan dari alam yang mampu membuat penikmatnya ingin kembali dan kembali lagi. Menjadikannya candu yang mampu mengabaikan hal-hal lainnya. Tak seberapapun membosankannya foto yang ada, akan selalu ada alasan untuk kembali. Karna hanya dengan kembali ke alam lah kita dapat merasakan sebuah foto yang membosankan itu menjadi sebuah kedaan nyata yang mampu mengulang memory kedamaian. Maka dari itu, jika kalian berada di alam, cobalah sesekali rebahkan tubuhmu di tanah, pejamkan matamu, nikmati dan rasakan alam memelukmu kawan.

Salam.

Kenapa Mapala


Mahasiswa Pecinta Alam

Sebuah gagasan yang dicetuskan pertama kali oleh Soe Hok Gie, seorang demonstran yang terkenal karena berani menentang rezim orde baru. Gie adalah tokoh yang sekarang tengah dikagumi oleh ratusan ribu mahasiswa Indonesia karena tulisan-tulisannya yang menginspirasi. 

Mungkin dimata orang yang sebelumnya tak pernah tau tentang mapala pasti menilai bahwa anggota mapala adalah orang yang slengkean dengan gaya compang camping. Bahkan ada plesetan bahwa mapala adalah singkatan dari ‘mahasiswa paling lama’ yang terkenal menjadi mahasiswa abadi di kampusnya. tapi apakah memang seperti itu? bisa iya bisa tidak, tapi sebagai orang yang bijak, tentu kita tidak boleh menilai sesuatu hanya dari covernya bukan?

Sebagai seorang mapala, mahasiswa memiliki banyak peran di kampus nya. Selain menuntut ilmu dan berorganisasi pada umumnya, seorang mapala juga dapat menyalurkan hobi berkegiatan di alam bebas dan dituntut untuk selalu bertanggung jawab terhadap nama baik organisasi dan pilihan diri sendiri. Sebab itulah banyak orang selama ini beranggapan anggota mapala banyak yang tamat tidak pada waktunya karena kesibukan dan pikiran idealisme nya. 


Lalu kenapa dari sekian banyak organisasi yang ada di kampus saya lebih memilih mapala? Saya punya alasan sendiri kenapa mapala menjadi tujuan saya. Alasan dan persepsi yang mungkin tidak semua orang sadar. Mungkin orang lain mengira saya pilih mapala karena saya suka ke pantai, saya suka naik gunung, saya suka main di sungai, dan segala kegiatan yang saya sukai berhubungan tentang alam. Memang benar, tapi itu bukan tujuan utama saya bergabung di organisasi pecinta alam.

“Aku bisa kok naik gunung tanpa harus ikut organisasi pecinta alam”
Banyak dari mereka yang tidak ikut organisasi pecinta alam mengatakan seperti itu. Memang benar, berkegiatan di alam dapat dilakukan tanpa harus ikut organisasi pecinta alam. Namun akan ada hal yang mereka lewatkan, sebuah organisasi tentu memiliki sebuah identitas, memiliki sebuah ke anggotaan yang biasanya merupakan keanggotaan seumur hidup. Ada kutipan menarik yang pernah saya baca dari tulisan salah satu pendiri Sherpa Geodesi Undip, tulisannya seperti berikut :
“Mungkin kita bisa mendaki gunung-gunung yang tinggi tanpa harus ikut organisasi pecinta alam. Tapi nanti beberapa tahun lagi atau ketika kita sudah mulai tua, kita tidak punya “Rumah” untuk pulang. Berbeda halnya dengan anggota organisasi pecinta alam yang biasanya keanggotaannya seumur hidup. Para senior bisa kembali ke organisasinya kapanpun. Di “Rumah” selalu ada sambutan hangat untuk mereka. “Rumah” tidak akan pernah kosong karena akan selalu ada anggota baru setiap tahun. Di “Rumah” kita bisa mengingat banyak hal yang telah kita lewati bersama organisasi tersebut. Semua cerita, kisah, dan kenangan manis terukir indah dalam “Rumah”. Sedangkan bagi mereka yang tidak mempunyai organisasi. Beberapa tahun lagi mereka akan kesepian. Tidak ada “Rumah” bagi mereka untuk pulang. Tidak ada basecamp yang bisa dituju. Tidak ada lagi teman untuk berpetualangan. Mereka hanya bisa duduk di rumah sambil meratapi kebanggan akan gunung-gunung tinggi yang telah didaki.”

Disini keanggotan menjadi sangat penting, menjadi sebuah anggota organisasi pecinta alam selayaknya menjadi anggota keluarga. Karena yang namanya keluarga tentu tidak memiliki batas waktu keanggotaan.

Bagi saya pribadi, sebuah organisasi pecinta alam adalah sebuah organisasi yang luar biasa. organisasi yang hidup dengan bernafaskan tanggung jawab pada pada diri setiap anggotanya, organisasi yang penuh dengan kesederhanaan namun selalu memberikan pelajaran hidup.
Sebagai seorang mapala, saya telah banyak belajar memaknai hidup. Saya lebih menghargai waktu, saya lebih menghargai makanan, saya lebih menghargai kebersamaan, saya lebih menghargai toleransi dan belajar untuk tidak menjadi orang egois yang selalu memaksakan kehendak terhadap orang lain. Saya belajar itu semua, begitu banyak pelajaran tentang hidup yang alam berikan melalui organisasi pecinta alam, yang tentu tidak saya dapatkan di organisasi lain.

Jika diibaratkan kita besi, alam adalah api, dan organisasi pecinta alam adalah seorang pandai besi. maka besi pun butuh api, butuh dipukul, butuh dibentuk, untuk menjadi sebilah pedang. Sesuai dengan tujuan organisasi pecinta alam yakni membentuk karakter serta mental yang kuat untuk setiap anggotanya. 

Salam hangat, Perhimpunan Pecinta Alam Ganesha SMAN 1 Situbondo dan Geodipa (Geodesi Pecinta Alam), Teknik Geodesi, Universitas Gadjah Mada. Terima kasih telah banyak merubah hidup saya menjadi insan yang jauh lebih baik dari sebelumnya.

Salam Lestari !