Kamis, 28 September 2017

Hidup itu tentang Geospasial


Kehidupan kita saat ini tak akan lepas dengan apa yang namanya geospasial. Seperti kita ketahui kebutuhan akan peta sudah menjadi kebutuhan yang sangat penting. Rasa-rasanya pepatah yang mengatakan bahwa malu bertanya sesat dijalan sudah mulai ter degradasi di era sekarang. Informasi Geospasial mengubah segalanya, mengubah gaya hidup dan pola pikir masyarakat.

Jika kita lihat dalam kehidupan sehari-hari kita sering menjumpai kegunaan informasi geospasial yang mungkin saja tidak pernah kita sadari. Bahkan di saat kita lagi santai, lagi upload foto, lagi traveling, lagi bekerja semuanya didukung oleh data data geospasial.  Sebagai contoh misalnya ketika kita menambahkan fitur location pada saat kita mengunggah foto liburan kita di Instagram. Jika kamu pernah melakukan hal itu, berarti kamu telah hidup di zaman dimana lokasi dan posisi sangat penting untuk di bagikan.

Contoh lain jika kita sedang chat di Line atau di Whatsapp dengan teman kita. Lalu kita akan janjian ketemuan di suatu tempat yang di rekomendasikan teman kita dan kita tidak pernah tahu lokasi tempat tersebut, spontan kita akan meminta “shareloc” dong.. nah fitur share location yang ada di aplikasi chating itu merupakan karya dan ide kreatif dari orang yang hidup dengan kesadaran geospasial yang tinggi.


            Banyak sekali kehidupan kita yang dapat kita kaitkan dengan geospasial, abang gojek, abang grab , abang uber, dan segala jenis taksi taksi dan ojek ojek yang berbasiskan online menggunakan peta sebagai kebutuhan primer pekerjaannya. Jika tidak ada kemajuan dalam bidang informasi geospasial, mungkin sekarang kita masih was-was jika ingin menaiki ojek tanpa kita tahu identitas asli dan rute perjalanan yang sesuai pada peta.


            Hidup dengan kreatifitas spasial yang tinggi sangat menguntungkan. Kita tidak bakal kena macet, cukup intall waze atau google maps yang saat ini sudah dapat memberikan informasi real time tentang kemacetan di suatu tempat sekaligus kita juga dapat memilih jalur yang tercepat dengan mempertimbangkan kelas jalan dan informasi kemacetan tadi.  Kalau kamu suka traveling atau mendaki gunung, kita tidak perlu lagi takut nyasar ! dengan teknologi informasi geospasial saat ini, handphone pun bisa kita gunakan sebagai alat navigasi yang canggih meskipun di gunung sama sekali tidak ada sinyal komunikasi. Namun dengan teknologi GPS, semuanya bisa teratasi. Caranya sangat mudah, cukup kita install aplikasi pembaca map offline dan file tracklog GPS seperti contoh GPXViewer atau OruxMaps, lalu kita download tracklog GPS (rekaman koordinat pendaki lain saat mendaki gunung) banyak sekali di internet, tinggal minta bantu cari ke mbah google, lalu download juga peta area gunung yang akan dituju pada aplikasi yang telah di install, dan sesampainya di gunung, cukup kita buka kedua file tadi lalu kita aktifkan fitur locations pada handphone kita dan dan akhirnya lokasi kita akan selalu terpantau selama 24 jam nonstop. Asal baterai handphone kita tidak habis.


            Begitulah hidup di zaman sekarang, dimana informasi mengenai posisi sangat berarti bagi kita. Kapan saja dan dimana saja, semuanya membutuhkan geospasial. Bahkan dalam kejadian se sederhana seperti bertanya “kamu ada dimana sekarang?” itu juga termasuk Geospasial lho.

Kamis, 05 Mei 2016

Aku Beruntung Aku dari Desa


 

Sudah lama sekali aku tak menulis. Entah sudah berapa banyak parade inspirasi yang lewat begitu saja tanpa kuabadikan. Akhir-akhir ini aku kurang bisa mengerti diriku sendiri. Rasa-rasanya rasa malas setia sekali menemani hari-hariku. Terlebih lagi tugas kuliah yang menumpuk. Ah yasudahlah. Yang penting sekarang aku kembali menulis.

Sesuai judul diatas, aku disini ingin menulis tentang bagaimana sebenarnya perspektif orang desa melihat dunia. Wah maksudnya gimana ya. Jadi begini, saya berasal dari desa kecil yang berada di kabupaten kecil di provinsi ujung pulau jawa. Nama desa nya Desa Panii Lor. Dan sekarang saya sedang merantau ke Kota yang dibilang cukup bersejarah, cukup besar, dan cukup dikenal oleh semua orang Indonesia. Yaitu Yogyakarta.  Bisa kebayang kan perbedaan yang saya alami dari perubahan tersebut?

Jika dibandingkan dengan kota jogja, mungkin daerah asal saya tidak ada apa-apanya. Ya seharusnya saya prihatin dengan kampung halaman saya yang susah berkembang, tapi tak apa, saya tetap cinta dengan Situbondo dengan segala kedamaiannya dan ketentramannya. Sebenarnya ke tidak ada apa-apanya kampong halaman saya inilah yang menginspirasi tulisan kali ini. Ketika menginjakkan kaki di jogja, banyak sekali hal baru yang membuat saya terpukau. Bahkan hal-hal kecil yang seharusnya membuat biasa saja. baru tau bioskop se megah itu, baru tau mall yang luasnya seluas desaku, baru tau ada makanan ini, makanan itu, tempat ini, tempat itu, benda ini, benda itu, dan baru tau baru tau yang lainnya. Bukannya kampungan, tolong jangan disamakan dengan kampungan. Wajar kan melihat sesuatu yang baru secara langsung dan terkesima. Hehe. Jika dibandingkan dengan teman-teman saya yang berasal dari kota-kota besar, mereka selalu menganggap semuanya biasa aja, udah sering liatlah, udah sering makek lah, udah biasa aja deh semuanya. Gimana ga bosen hidup mereka. :D

Yaa mungkin hanya masalah perspektif. Ketika seseorang mudah terkesima, mudah takjub, maka feel yang mereka rasakan akan berbeda, dalam hidupnya akan selalu terhibur dengan hiburan-hiburan kecil yang mungkin hanya bisa mereka rasakan sendiri.

Itu saja. tulisan yang tidak begitu penting ini.

Salam.
 

Minggu, 27 Desember 2015

Uniknya bangunan di Jogja




Jogja memang penuh dengan keunikan. Tiada bosan-bosannya mengungkap keunikan kota ini. Orang bilang sih semua sudut kotanya adalah tempat yang romantis. Memang, Jogja dengan segala keistimewaanya selalu dapat membuat kebanggan tersendiri bagi seseorang yang dapat menikmatinya. Salah satunya saya sendiri. Setelah sekitar 1 semester saya berkuliah disini,  saya sangat suka memperhatikan banyak hal di kota ini. Mulai dari budaya, kebiasaan, karakter, dan bahkan bangunannya. Namun khusus kali ini saya ingin membahas tentang bangunannya.

Seperti yang kita ketahui bersama jogja adalah kota dengan segala kekayaan budayanya. Dengan maraknya pembangunan dan modernisasi, kita sebagai masyarakat indonesia tidak sepatutnya meghilangkan corak dan identitas dari budaya kita. Hal ini rupanya sangat konsisten dilakukan di kota jogja. Lihat saja di sepanjang jalan malioboro misalnya, banyak bangunan-bangunan yang masih dipertahankan bentuknya dari dulu hingga sekarang. bukan orang-orangnya yang malas merenovasi, tapi hal ini rupanya sengaja dilakukan oleh dinas pariwisata setempat untuk menjaga identitas kota jogja sebagai kota yang bersejarah.
 
Menurut kakak saya yang kemarin magang di Disparbudpora jogja, setiap tahunnya jogja mendapat kucuran dana keistimewaan dari pemerintah pusat untuk konservasi situs-situs budaya di jogja, dan juga untuk merevitalisasi bangunan-bangunan bersejarah yang ada di jogja. Bahkan juga ada aturan tegas yang mengatur tentang bentuk bangunan ini. jadi bagi orang yang memiliki bangunan yang telah terdata oleh pemerintah kota jogja untuk dilestarikan, maka segala sesuatu proses perubahan yang diinginkan si pemilik harus lapor dan mengantongi ijin dari Disparbudpora. Bahkan untuk mengganti warna cat pun tidak bisa sembarangan. Ribet sekali, tapi efeknya luar biasa kan bagi perkembangan kepariwisataan di jogja.

Jika kita lihat di sekitaran perempatan tugu jogja misalnya. Banyak restoran-restoran cepat saji yang notabene merupakan produk luar namun mau tidak mau harus mematuhi aturan tersebut. Misalnya seperti foto dibawah ini.

Pizza hut Jogja
Unik sekali bukan? layaknya kita melihat adanya perpaduan antara 2 budaya yang sangat sangat kontras. 

Selain itu, jika kalian pergi ke jogja. Sepintas memang tidak ada yang keren dan megah bangunannya. bangunannya kuno. gak modern sama sekali. Contohnya saja gedung ECC UGM ini. Perhatikan saja dari luar, sangat teramat biasa kan.

Namun lihat bagian interiornya, gimana? Bisa dinilai sendiri lah ya.
Interior ECC UGM
saya saja pertama kali lihat gedung ini dari luar berasa tidak percaya gedung se penting ECC UGM di dandani sesederhana ini. tapi ketika masuk, wahhh semuanya sangat berbeda. sangat modern dan sangat nyaman. desain interiornya sungguh sangat kontras dengan eksteriornya.

Hmm, dari gaya bangunannya saja kita semua dapat belajar bahwa sebaiknya tidak perlu kita bagus di luar jika dalamnya masih perlu diperbaiki. Lebih baik terlihat biasa dari luar, namun baik di dalam. Inilah yang namanya low profile men. Selalu merendah walaupun punya kualitas. memang seperti ini karakter kebanyakan orang jawa yang saya temui. Rendah hati dan tidak sombong.

yah mungkin segitu dulu tulisan yang singkat ini. Semoga abstraksi ini dapat menginspirasi kita semua agar selalu menjadi pribadi yang rendah hati seperti karakter kota jogja.

Salam.

Jumat, 20 November 2015

Gunung Sumbing Malam Itu



Kali ini saya ingin menceritakan pengalaman yang akan selalu saya ingat dalam hidup. Tulisan ini merupakan catatan perjalanan pendakian gunung sumbing 3371 mdpl. Setiap kali mengingat pendakian ini, saya sadar hidup dan mati itu hanya dipisahkan oleh selaput yang sangat tipis. Oke langsung saja begini ceritanya.

Sekitar 3 minggu yang lalu saya melakukan pendakian di gunung sumbing yang terletak di daerah wonosobo, Jawa Tengah. Pendakian kali ini hanya beranggotakan 3 orang. Saya sendiri, 1 teman cowok dan 1 teman cewek, dan tidak satupun dari kami yang pernah mendaki ke gunung sumbing. Jadi ini merupakan pengalaman pertama kami mendaki gunung sumbing.

Kami berangkat dari jogja hari jumat, 30 oktober 2015. Sekitar pukul 4 sore kami berangkat mengendarai motor. Sekitar jam 8 malam kami sampai di pendakian gunung sumbing. Kami pun bersiap-siap untuk memulai pendakian, kami mengecek segala perlengkapan yang kami bawa. Setelah semua beres, kami pun berangkat. Dari basecamp ke pos 1 kami menggunakan jasa ojek, karena memang pendakian kali ini kami sedang dikejar waktu karena harus sudah berada di jogja minggu paginya. Dengan motor ojek yang sudah di modifikasi untuk kondisi jalan pegunungan yang ekstrim, Kami pun menembus dinginnya kabut dan pekatnya malam. Ternyata perjalanan dengan ojek pun terasa cukup lama, sekitar 15 menit namun cukup membuat rahang ini bergetar.

Setelah sampai di pos 1, kami langsung memulai pendakian, di awal perjalanan sudah cukup menguji mental kami. Bagaimana tidak, tidak ada bonus sama sekali. Hanya beberapa meter mendatar lalu selebihnya berupa tanjakan. Setelah 2 jam berjalan, kami pun sampai di pos 2. Disini terdapat 2 tenda para pendaki lain yang sedang bermalam. Setelah sejenak beristirahat, kami pun melanjutkan pendakian, kali ini benar-benar tidak ada ampun, di daerah yang bernama engkol-engkolan sekitar 30 menit dari pos 2 terdapat medan terjal dengan kemiringan sekitar 60 derajat. Ditambah kondisi tanah yang licin dan berdebu, nafas kami tersenggal-senggal ditempat ini. Sungguh benar-benar menguji mental dan fisik. Setelah berjalan sekitar 1,5 jam kami pun sampai di pos 3, seduplak roto. Disini sebenarnya tempat yang paling nyaman untuk camp. Namun, lokasinya terlalu jauh dengan puncak. 

Waktu menunjukkan pukul 23.00. Akhirnya setelah menimbang-nimbang waktu dan kondisi fisik, kami memutuskan untuk lanjut hingga ke watu kotak. Watu kotak adalah tempat camp yang disarankan oleh penjaga basecamp pendakian gunung sumbing karena lokasinya yang dekat dengan puncak dan terhalang tebing sehingga aman dari angin dan badai. Perjalanan dari pos 3 ke watu kotak ini memang tidak terlalu terjal, namun di daerah pesar setan, sekitar 20 menit dari pos 3 kami lagi-lagi diuji. Angin disini sangat kencang, karena memang lokasinya yang berupa hamparan padang rumput yang sangat luas dan tak terhalang apapun. Sangat berbahaya untuk camp walaupun tanahnya datar. Tapi kebanyakan pendaki yang kami temui memilih tempat ini karena lokasinya yang luas, padahal sangat sulit untuk mendirikan tenda di konsisi angin kencang seperti ini, bisa-bisa terbang tuh tenda.
Perjalanan kami masih belum selesai, malam pun semakin sunyi, angin yang menusuk tulang pun tak kunjung reda, percakapan diantara kami bertiga juga semakin jarang. Masing-masing sudah kelelahan, terlihat dari wajah mereka yang tak lagi menampilkan senyuman. Dan setelah 2 jam perjalanan yang sangat melelahkan kami pun sampai di watu kotak. Disini tidak ada tenda pendaki lain yang terlihat, jadi hanya ada kami bertiga di tempat ini. Setelah berkeliling dan melakukan orientasi medan, kami memutuskan untuk mendirikan tenda di sisi timur tebing. Masih terlihat bekas tali dan parit tenda pendaki sebelumnya. Memang benar, lokasinya cukup nyaman dan tenang, pantas bapak penjaga basecamp merekomendasikan tempat camp ini. Kami pun segera mendirikan tenda. 15 menit kemudian tenda sudah berdiri dengan gagahnya.

Saat itu waktu menunjukkan pukul 01.30 dini hari. Salah seorang teman ada yang sholat, dan satunya lagi menyiapkan alat dan bahan di luar tenda. Dan hanya saya yang ada di dalam tenda sedang mengatur dan merapikan barang-barang yang telah di bongkar. Nah disinilah kejadian yang hampir merenggut nyawa saya itu terjadi. Tiba-tiba terdengar suara angin berhembus cukup kencang, dan pada saat itu juga terdengar suara salah seorang temanku berteriak, tak sempat mendengar apa yang diteriakkan temanku, tiba-tiba tenda seperti kejatuhan benda yang sangat besar. Nginngg.. suara berdenging di telingaku, membuat saya tuli dan terdiam sesaat. Rasanya kepala dan punggungku terbentur sesuatu. Saya mendengar teriakan suara salah seorang teman yang menanyakan keadaanku yang sedang di dalam tenda, saya pun menjawab dan memastikan bahwa saya tak apa-apa sambil merangkak keluar tenda. Dan seketika itu saya terkejut setengah mati, sebongkah batu yang besarnya sekitar 2 kali tas carrier telah menghantam tenda kami. Mematahakan 3 frame tenda, dan merobekkan beberapa bagian tenda.
 
batu sudah dipindahkan dari posisi awal.

Saya nyaris mati. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Tak bisa kubayangkan. Andai saya mundur 10 centimeter saja dari posisi semula, batu besar yang mendorong punggungku hingga berbekas itu pastilah sudah memecahkan tengkorakku. Apalagi jika kami bertiga sudah masuk dan tidur di dalam tenda. sungguh tidak dapat terbayangkan. Saya sangat bersyukur karena masih diberi keselamatan. Sesaat setelah kejadian itu kami semua bungkam, kami semua merasa kami telah ditegur. Merasa diingatkan kembali bahwa kami hanyalah manusia. Kami bagaikan butiran debu ditempat ini, kami semua tak berdaya jika dibandingkan dengan kuasaNya.

Udara semakin menusuk tulang, perut yang kosong juga membuat apa yang kita lakukan menjadi semakin lambat. Lalu kami menyantap makanan seadanya, selera kami menurun akibat insiden yang baru saja terjadi, namun kami harus makan agar tidak kedinginan. Karena ada 3 frame yang patah, tenda kami pun tak lagi bisa berdiri. Akhirnya kami mengakali tidur dengan menggunakan cover tenda untuk menyelimuti tubuh kami. Untunglah ada sleeping bag yang membuat tubuh kami hangat. Waktu menunjukkan pukul 3 dini hari. Kami memutuskan untuk tidur, memberikan kesempatan untuk mata dan tubuh yang sudah lelah ini untuk beristirahat. 

Pagi itu, matahari muncul menyapa segala bentuk kehidupan, menghapus segala pekat malam mengerikan yang telah kami lalui. Cukup membuat kami sejenak melupakan insiden malam itu. Setelah menyantap sarapan,  kami pun packing dan melanjutkan pendakian. Hanya tinggal 1 kilo lagi menuju puncak. Kondisi jalan dari watu kotak ke puncak ini adalah yang terekstrim, namun view sindoro yang selalu terlihat di sepanjang jalur pendakian mampu menghapus rasa lelah kami. Setelah sekitar 2 jam 30 menit, Akhirnya kami semua menginjakkan kaki di puncak sumbing 3371 mdpl.
 

Pada akhirnya, pengalaman hebat ini mengajarkanku bahwa sebagai seorang manusia biasa, kita semua tidak akan bisa lari dari kematian. Maka berdoalah, mintalah keselamatan sebelum memulai segala kegiatan alam. Jangan sombong, jangan angkuh, dan jangan bersikap seenaknya. Alam ada bukan untuk kita taklukkan, alam ada hanya sebagai media bagi kita untuk lebih mendekatkan diri pada sang pencipta. Semoga tulisan kali ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Salam Lestari !


Jumat, 13 November 2015

Tulisan Hujan

Siang ini udara terasa lebih sejuk dari biasanya, dijalanan tidak ada lagi bayang bayang terlihat. Semuanya serasa meredup. Semua warna seakan memudar, memucat dan membuat segala sesuatu tak nyaman dipandang. Pada saat ini aku dikamar duduk mematung menanti turunnya rintik rintik kehidupan itu. Mengharapkan gumpalan putih yang melayang itu jatuh, agar sesegera mungkin menyapu debu dan polusi yang sudah menumpuk di jalanan. Sungguh kondisi kota jogja hari ini benar-benar mengharapkan hujan. Panas, sumpek, kotor, dan gersang. Benar-benar merindukan hujan.

Waktu menunjukkan telah masuk tengah hari, kupandang keatas dari balkon kos, awan mulai menghitam dan udara kuhirup semakin melembab. Hembus angin disertai rontoknya daun dari dahannya semakin menambah suasana abu itu. Tiba-tiba setetes air jatuh mengenai alisku. Tersentak oleh kedinginan kecil itu. Aku terdiam, sembari melihat kebawah. Di lantai dan dinding sudah terbentuk pola tetasan air yang seragam. Ternyata yang dirindukan itu sudah datang, rintik hujan pertama yang langsung dirasakan oleh kulitku. Sejuk, mereka membasahi tanah, ilalalang, dan  rerumputan membuat mereka mengularkan wangi khas petrichor yang selalu dapat mengulang tentang memori kebersamaan itu.

Lega rasanya, kubiarkan wajahku basah. Kubiarkan segala inderaku merasakan hadirnya hujan. Tak lama kemudian, hujan semakin menjadi-jadi dan angin berhembus cukup kencang, membuat lintasan jatuh air membentuk lintasan parabolik. Balkon kamarku pun basah. Aku pun kembali mematung di kamar, melamun, menikmati diamku diantara dunia yang bergejolak di luar sana. Sembari memutar radio, lantunan musik di radio beradu dengan suara gemercik air. Aku pun menemukan irama dalam kebisingan, aku terhanyut dan seketika itu aku berbaring, memejamkan mata. Lalu terlelap dalam romantisme hujan.

Aku pun bertanya dalam mimpiku, seribut dan gemuruhnya hujan menghantam atap rumah, kenapa ia selalu menenangkan? Mereka sama sekali tidak membuat tidurku terganggu, bahkan semakin melelapkan? pertanyaan itu terus bertanya di dalam hanyutan alam mimpi. Semakin deras, semakin membuat diriku terlelap dan tak lagi sadarkan diri, terjebak dalam ketenangan dan terjebak dalam nostalgia turunnya hujan.