Kali ini saya ingin menceritakan pengalaman yang akan selalu saya ingat dalam hidup. Tulisan ini merupakan catatan perjalanan pendakian gunung
sumbing 3371 mdpl. Setiap kali mengingat pendakian ini, saya sadar hidup dan mati itu
hanya dipisahkan oleh selaput yang sangat tipis. Oke langsung saja begini ceritanya.
Sekitar 3 minggu yang lalu saya melakukan pendakian di
gunung sumbing yang terletak di daerah wonosobo, Jawa Tengah. Pendakian kali
ini hanya beranggotakan 3 orang. Saya sendiri, 1 teman cowok dan 1 teman cewek,
dan tidak satupun dari kami yang pernah mendaki ke gunung sumbing. Jadi ini merupakan
pengalaman pertama kami mendaki gunung sumbing.
Kami berangkat dari jogja hari jumat, 30 oktober 2015.
Sekitar pukul 4 sore kami berangkat mengendarai motor. Sekitar jam 8 malam kami
sampai di pendakian gunung sumbing. Kami pun bersiap-siap untuk memulai
pendakian, kami mengecek segala perlengkapan yang kami bawa. Setelah semua beres,
kami pun berangkat. Dari basecamp ke pos 1 kami menggunakan jasa ojek, karena
memang pendakian kali ini kami sedang dikejar waktu karena harus sudah berada
di jogja minggu paginya. Dengan motor ojek yang sudah di modifikasi untuk
kondisi jalan pegunungan yang ekstrim, Kami pun menembus dinginnya kabut dan
pekatnya malam. Ternyata perjalanan dengan ojek pun terasa cukup lama, sekitar 15 menit namun cukup
membuat rahang ini bergetar.
Setelah sampai di pos 1, kami langsung memulai pendakian, di
awal perjalanan sudah cukup menguji mental kami. Bagaimana tidak, tidak ada
bonus sama sekali. Hanya beberapa meter mendatar lalu selebihnya berupa
tanjakan. Setelah 2 jam berjalan, kami pun sampai di pos 2. Disini terdapat 2
tenda para pendaki lain yang sedang bermalam. Setelah sejenak beristirahat,
kami pun melanjutkan pendakian, kali ini benar-benar tidak ada ampun, di daerah yang bernama engkol-engkolan sekitar 30 menit dari pos 2 terdapat medan terjal dengan
kemiringan sekitar 60 derajat. Ditambah kondisi tanah yang licin dan berdebu, nafas
kami tersenggal-senggal ditempat ini. Sungguh benar-benar menguji mental dan
fisik. Setelah berjalan sekitar 1,5 jam kami pun sampai di pos 3,
seduplak roto. Disini sebenarnya tempat yang paling nyaman untuk camp. Namun,
lokasinya terlalu jauh dengan puncak.
Waktu menunjukkan pukul 23.00. Akhirnya
setelah menimbang-nimbang waktu dan kondisi fisik, kami memutuskan untuk lanjut
hingga ke watu kotak. Watu kotak adalah tempat camp yang disarankan oleh
penjaga basecamp pendakian gunung sumbing karena lokasinya yang dekat dengan
puncak dan terhalang tebing sehingga aman dari angin dan badai. Perjalanan dari
pos 3 ke watu kotak ini memang tidak terlalu terjal, namun di daerah pesar
setan, sekitar 20 menit dari pos 3 kami lagi-lagi diuji. Angin disini sangat
kencang, karena memang lokasinya yang berupa hamparan padang rumput yang sangat
luas dan tak terhalang apapun. Sangat berbahaya untuk camp walaupun
tanahnya datar. Tapi kebanyakan pendaki yang kami temui memilih tempat ini
karena lokasinya yang luas, padahal sangat sulit untuk mendirikan tenda di
konsisi angin kencang seperti ini, bisa-bisa terbang tuh tenda.
Perjalanan kami masih belum selesai, malam pun semakin
sunyi, angin yang menusuk tulang pun tak kunjung reda, percakapan diantara kami
bertiga juga semakin jarang. Masing-masing sudah kelelahan, terlihat dari
wajah mereka yang tak lagi menampilkan senyuman. Dan setelah 2 jam perjalanan
yang sangat melelahkan kami pun sampai di watu kotak. Disini tidak ada tenda
pendaki lain yang terlihat, jadi hanya ada kami bertiga di tempat ini. Setelah
berkeliling dan melakukan orientasi medan, kami memutuskan untuk mendirikan
tenda di sisi timur tebing. Masih terlihat bekas tali dan parit tenda pendaki
sebelumnya. Memang benar, lokasinya cukup nyaman dan tenang, pantas bapak
penjaga basecamp merekomendasikan tempat camp ini. Kami pun segera mendirikan
tenda. 15 menit kemudian tenda sudah berdiri dengan gagahnya.
Saat itu waktu menunjukkan pukul 01.30 dini hari. Salah seorang teman ada yang
sholat, dan satunya lagi menyiapkan alat dan bahan di luar tenda. Dan hanya
saya yang ada di dalam tenda sedang mengatur dan merapikan barang-barang yang
telah di bongkar. Nah disinilah kejadian yang hampir merenggut nyawa saya itu
terjadi. Tiba-tiba terdengar suara angin berhembus cukup kencang, dan pada saat
itu juga terdengar suara salah seorang temanku berteriak, tak sempat mendengar
apa yang diteriakkan temanku, tiba-tiba tenda seperti kejatuhan benda yang
sangat besar. Nginngg.. suara berdenging di telingaku, membuat saya tuli dan
terdiam sesaat. Rasanya kepala dan punggungku terbentur sesuatu. Saya mendengar
teriakan suara salah seorang teman yang menanyakan keadaanku yang sedang di
dalam tenda, saya pun menjawab dan memastikan bahwa saya tak apa-apa sambil merangkak keluar tenda. Dan
seketika itu saya terkejut setengah mati, sebongkah batu yang besarnya sekitar
2 kali tas carrier telah menghantam tenda kami. Mematahakan 3 frame tenda, dan
merobekkan beberapa bagian tenda.
|
batu sudah dipindahkan dari posisi awal. |
Saya nyaris mati. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Tak bisa
kubayangkan. Andai saya mundur 10 centimeter saja dari posisi semula, batu
besar yang mendorong punggungku hingga berbekas itu pastilah sudah memecahkan
tengkorakku. Apalagi jika kami bertiga sudah masuk dan tidur di dalam tenda. sungguh tidak dapat terbayangkan. Saya sangat bersyukur karena masih diberi keselamatan. Sesaat setelah kejadian itu kami semua bungkam, kami
semua merasa kami telah ditegur. Merasa diingatkan kembali bahwa kami hanyalah
manusia. Kami bagaikan butiran debu ditempat ini, kami semua tak berdaya jika
dibandingkan dengan kuasaNya.
Udara semakin menusuk tulang, perut yang kosong juga membuat
apa yang kita lakukan menjadi semakin lambat. Lalu kami menyantap makanan seadanya,
selera kami menurun akibat insiden yang baru saja terjadi, namun kami harus
makan agar tidak kedinginan. Karena ada 3 frame yang patah, tenda kami pun tak
lagi bisa berdiri. Akhirnya kami mengakali tidur dengan menggunakan cover tenda
untuk menyelimuti tubuh kami. Untunglah ada sleeping bag yang membuat tubuh
kami hangat. Waktu menunjukkan pukul 3 dini hari. Kami memutuskan untuk tidur,
memberikan kesempatan untuk mata dan tubuh yang sudah lelah ini untuk
beristirahat.
Pagi itu, matahari muncul menyapa segala bentuk kehidupan, menghapus segala pekat malam
mengerikan yang telah kami lalui. Cukup membuat kami sejenak melupakan insiden
malam itu. Setelah menyantap sarapan, kami pun packing dan melanjutkan
pendakian. Hanya tinggal 1 kilo lagi menuju puncak. Kondisi jalan dari watu
kotak ke puncak ini adalah yang terekstrim, namun view sindoro yang selalu
terlihat di sepanjang jalur pendakian mampu menghapus rasa lelah kami. Setelah sekitar
2 jam 30 menit, Akhirnya kami semua menginjakkan kaki di puncak sumbing 3371
mdpl.
Pada akhirnya, pengalaman hebat ini mengajarkanku bahwa sebagai seorang manusia
biasa, kita semua tidak akan bisa lari dari kematian. Maka berdoalah, mintalah
keselamatan sebelum memulai segala kegiatan alam. Jangan sombong, jangan
angkuh, dan jangan bersikap seenaknya. Alam ada bukan untuk kita taklukkan,
alam ada hanya sebagai media bagi kita untuk lebih mendekatkan diri pada sang
pencipta. Semoga tulisan kali ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Salam Lestari !