Rabu, 26 Agustus 2015

Menjadi Perantau

Sudah 3 minggu saya pergi dari rumah. Saya pergi dengan niat untuk menuntut ilmu. Saya pergi dengan membawa sejuta mimpi kesuksesan masa depan. saya juga pergi dengan mengemban amanah kedua orang tua. Semua beban tanggung jawab ini saya bawa di kota ini. Kota yang banyak orang bilang kota yang berhati nyaman, ramah, kotanya para pelajar, kota miniatur indonesia. Ya, Jogja! sekarang saya menetap disini. Menapaki keseharian saya berstatus sebagai mahasiswa baru. Pasti bukan hal yang mudah bagi orang yang terbiasa dengan suasana kampung halaman. saya sebagai pendatang perlu sekali untuk adaptasi di lingkungan yang baru ini. nah pada postingan kali ini saya akan bercerita tentang kehidupan saya selama 3 minggu ini menjadi perantau.

Sewaktu mencari kamar kos awalnya saya memang berniat untuk mencari kamar kos yang dekat dengan daerah kampus, agar bisa berhemat biaya transport. Alhamdulillah saya mendapat kamar kos yang tidak jauh dengan kampus, ya sekitar 300 meteran lah dari kampus. yaitu di daerah pogung, yang mengaku orang jogja pasti tau. Lokasinya di sebelah utara kampus kerakyatan. Disini saya merasa cukup nyaman, lingkungannya kondusif, penghuni kos yang ramah, tetangga yang welcome dan harga kosnya pun relatif terjangkau.

Sebagai perantau, wajib hukumnya saya untuk memanajemen keuangan. Untuk uang makan, di jogja harga makanan cukup murah. Untuk sepiring nasi, dengan lauk tempe atau tahu dengan mie dan sayur pun dapat dijangkau dengan harga 4 ribu rupiah. Menurut pengalaman pribadi dan pengalaman teman-teman seperjuangan itu udah cukup murah kok untuk anak kos. namun terkadang, yang biasanya makan 3 kali sehari, sekarang hanya makan 2 kali sehari. 1 kalinya lagi bisa dapat makanan gratis di kampus jika beruntung Hehe. Yang kedua cucian, jika tidak terlalu sibuk cuci baju sendiri, setrikanya aja di laundry. Lumayan bisa hemat 7 ribuan perminggu. Perlengkapan mandi juga perlu di atur penggunaannya, yang biasanya setiap mandi dirumah main busa sabun, sekarang perlu berubah,  mulai berfikir menghemat sabun, pasta gigi, dan sebagainya.

Selain tentang manajemen kebutuhan diatas. Sebagai perantau, terkadang bahasa juga menjadi kendala. Saya orang Situbondo, bahasa daerah saya bahasa madura. Saya berada di jogja yang mayoritas adalah orang jawa. Otomatis saya menjadi kelompok minoritas. Sewaktu saya bertemu dengan teman-teman satu angkatan, saya adalah satu-satunya orang yang bisa berbahasa madura. Entah kenapa mungkin kampus saya kurang populer bagi orang madura. Kebanyakan adalah orang jawa lalu sisanya minang dan sunda. Memang sih masih ada bahasa indonesia, namun saya rasa untuk bersosialisasi, terutama untuk bercanda, dan mengakrabkan diri, penggunaan bahasa indonesia terlalu kaku jika di ucapkan kepada teman sepantaran.

Namun itu semua bukanlah keluh kesal saya sebagai anak rantau. Bagi saya semua itu justru suatu hal yang unik di hidup saya. Saya suka berpetualang, saya suka hal yang baru. dan pengalaman saya menjadi seorang perantau ini telah memberikan kesempatan bagi saya untuk belajar memahami satu sama lain, bertoleransi, dan belajar bahwa hidup ini tidak selalu berada di zona nyaman, ada kalanya kita harus keluar dan menatap kehidupan yang sesungguhnya.

2 komentar:

  1. "main busa sabun" bahahahaha, ketahuan kenapa sabunnya cepet abis. wkwkwkwkwk

    BalasHapus